Selamat Datang di LEKADnews, Media Informasi dan Interaktif Kerjasama Antardaerah Kab/Kota di Indonesia. Saran dan Pesan atau Komentarnya Sebelum Meninggalkan Situs ini....Info terkait Inisiasi Regional Management Hubungi Kami di 085215497331 atau Shar ke Website NGO Lekad di www.lekad.org...KERJASAMA JADI MUDAH DAN EFEKTIF...Terima Kasih.
LEKAD Sebagai lembaga yang telah berpengalaman dalam kajian, fasilitasi, publikasi dan pelatihan dibidang kerjasama daerah sejak 2005 menawarkan Pelatihan Pedoman Dasar Perencanaan Dan Pengembangan Kerjasama Antar Daerah Kewilayahan. Pelatihan ini akan diselenggarakana pada: Hari Rabu s/d Jumat 27-29 April 2011, Bertempat di Graha Wisata Kuningan, Jl. H.R Rasuna Said Kuningan, Jakarta_ Info Silakan Kontak Wilda (081314246402) atau H.Asrul Hoesein (085215497331) Terima Kasih.

Sabtu, 02 April 2011

Perlukah Moratorium Piala Adipura????


Salah Satu Komposter Bermasalah di Kab. Bone Sulsel_dok.Rul
oleh: H.Asrul Hoesein
(Pendiri GIH Foundation)

 
Moratorium Adipura Yes or No ?????? Pastinya perlu “perubahan” khususnya moral pengelolanya. Program adipura ini diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan hidup sejak 1986 kemudian terhenti pada tahun 1998. Pada tahun 2002 Program Adipura ini kembali dicanangkan oleh pemerintah dan berlangsung sampai sekarang. Meraih Piala Adipura sudah menjadi semacam Kewajiban setiap Kepala Daerah, dan kesannya keberhasilan seorang kepala Pemerintahan di nilai apakah Kepala Daerah tersebut dapat memboyong Piala tersebut dari Istana menuju kantor pemerintahan setempat. 

Komposter Bermasalah di Kab. Bone Sulsel_dok.Rul
Sebenarnya item-item penilaian pada event adipura cukup bagus dan pro rakyat untuk di tindaklanjuti masyarakat kab/kota, namun masih makro sifatnya kalau mau dan sangat mungkin “dipermainkan” pada tingkat aplikasi, khususnya pada item pelayanan masyarakat dan kelembagaan pengelola. Jadi sebaiknya sedikit di mikrokan (sifatnya) item penilaiannya dan paling penting ada monitoring dan evaluasi (monev) pasca penilaian. Beri sanksi bila aplikasi tidak sustainable (pengelolaan berkelanjutan), tarik piagam atau pialanya dan bongkar tugunya…dan lebih penting adakan audit investigasi (penilai dan yang dinilai) supaya ada efek jera. Jangan nilai bila belum melakukan 50%+1 UU.No.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, dengan merevisi perda persampahannya dan kombain UU.No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Supaya ada monev baik bagi pemerintah terlebih masyarakat, persyaratkan setiap kab/kota peserta adipura membuat situs/website/weblog “khusus pengelolaan sampah”nya, atau sub-situs dari website kab/kota itu sendiri, minimal info (teknologi dan pengadaan sarana dan prasarana) ikut di situs dinas terkait, supaya terjadi interaksi aktif (pemerintah dan masyarakat). Tambahkan item ini pada item “partisipasi masyarakat” dalam konteks peran media. Ini sangat berfungsi sekali sebagai media kontrol.
Apakah cuma Menginginkan Hal ini_dok.Rul
Banyak kabupaten/kota di Indonesia telah melakukan pengelolaan sampah “katanya terpadu”. Menurut riset yang penulis lakukan di beberapa kab/kota di Jawa, Sulawesi, Sumatera, dll. Itu sebenarnya terjadi kekeliruan pengertian “terpadu”. Entah penulis atau pemerintah (person) yang keliru. Fakta di beberapa TPA itu memang ada beberapa sarana dan prasarana penunjang pengelolaan sampah semisal; mesin pemilah sampah, mesin pencacah sampah, beberapa kolom pengomposan manual, sampai dengan rumah singgah pemulung? tapi semua ini hampir tidak berfungi (tidak difungsikan), hanya “etalase” saja untuk sekedar membuktikan “adanya pengadaan barang/jasa”. Begitu juga kondisi rumah kompos yang ada di beberapa wilayah TPS, memang sebagian ada (khususnya kab/kota yang mengikuti penilaian Adipura), namun semuanya itu hampir tidak punya aktifitas. Sebatas seremonial saja…Inikah yang disebut terpadu atau berbasis komunal (masyarakat)….?????
Pemerintah pusat (Kemeneg.Lingkungan Hidup dan Kemendagri) dan khususnya DPR serta titipan khusus untuk KPK agar atau perlu menyikapi kondisi yang terjadi di kab/kota ini. Jangan dibiarkan kebohongan publik terjadi, STOP semua itu kalau perlu adakan moratorium piala Adipura (teliti dan analisa kembali), karena sesungguhnya substansi event adipura sangat bagus namun aplikasinya sedikit keluar dari eksistensinya.
Utama dalam memilih teknologi pengolahan sampah adalah dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dini (precautionary principle), dimana perlunya menerapkan kehati-hatian dalam menghadapi ketidakpastian teknologi; prinsip pencegahan (preventive principle), yang menekankan bahwa mencegah suatu bahaya adalah lebih baik daripada mengatasinya; prinsip demokrasi (democratic principle), dimana semua pihak yang dipengaruhi keputusan-keputusan yang diambil, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan-keputusan, serta; prinsip holistik (holistic principle), dimana perlunya suatu pendekatan siklus-hidup yang terpadu untuk pengambilan keputusan masalah lingkungan.
Komposter Bermasalah di Kab. Bone Sulsel_dok.Rul
Hal ini nampaknya juga akan diperparah dengan masuknya teknologi pengolahan sampah seperti ini. Insinerator sebenarnya merupakan teknologi yang sudah tidak lagi dipergunakan di negara maju. Namun sayangnya, informasi yang diberikan oleh distributor teknologi ini di Indonesia sangat tidak memadai dan malah “mungkin” terjadi konsfirasi dalam pengadaan teknologi ini secara besar-besaran di beberapa kab/kota di Indonesia, sehingga terkadang para pengambil keputusan di pemerintah terbuai dengan dampak positifnya saja, dan melewatkan dampak negatif dari teknologi ini… berpikirlah sekarang????? Sebelum mengambil kebijakan untuk mengadakan insinerator ini.
Lalu bagaimana melakukan pengelolaan sampah di Indonesia dengan semakin tingginya timbulan dan bahaya sampah, dimana bukan tidak mungkin sebagian kab/kota  akan menjadi kota sampah? Ada beberapa langkah penting yang harusnya mulai dilakukan, yaitu dengan mengurangi sumber-sumber sampah. Pemerintah harusnya mulai mendorong para produsen untuk mengurangi penggunaan kemasan berlebihan yang dapat meningkatkan jumlah sampah. Selain itu, di tingkat distributor (penyalur ataupun pengecer), juga memulai mengurangi jumlah pembungkus barang yang dibeli oleh pembeli (kurangi pemakaian kresek). Sementara di tingkat konsumen sudah harus memulai mengurangi penggunaan kantong kresek plastik untuk membawa barang belanjaan, segera membawa kantong kresek dari rumah.
Di tingkat rumah tangga, harus dilakukan peningkatan pengetahuan berkaitan dengan pengelolaan sampah rumah tangga, diantaranya untuk mengolah sampah organik, serta melakukan pemilahan sampah. Dan bila memungkinkan, materi pengelolaan sampah dapat dijadikan salah satu bagian dari proses pembelajaran di sekolah (ini sangat penting, paradigma kelola sampah sejak dini sebagai pelajaran dan keterampilan muatan lokal), sehingga dapat semakin memperkaya pengetahuan pelajar, yang harapannya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari sekarang dan yang akan datang. Setidaknya anak didik bisa menyebarkan virus paradigma baru (gaya hidup modern) tentang kelola sampah pada oang tua dan lingkungannya.
Pemerintah harusnya dapat lebih berperan untuk menguatkan industri kecil daur ulang. Di Kab/Kota di Indonesia sendiri sebenarnya sudah terdapat beberapa industri daur ulang, baik di kelola oleh masyarakat maupun swasta, namun belum memperoleh dukungan serius dari pemerintah. Industri kecil daur ulang ini bukan tidak mungkin akan menjadi sebuah ruang baru bagi pencari kerja, dan tentu akan menambah pengusaha-pengusaha baru di kab/kota, serta bisa memberikan nilai efek ekonomi bagi masyarakat lainnya. Interaksi antara rumah tangga, kelompok pemulung, pengelola industri daur ulang, akan menjadi sebuah titik bangkitnya gerakan ekonomi rakyat, dimana terjadi hubungan yang saling menguntungkan antar pihak. Selain itu, pemerintah juga harus membuat peraturan (regulasi) agar daya saing dari industri kecil dapat semakin menguat, diantaranya mengenai larangan ekspor (usaha antar pulau) sampah, karena dapat mempengaruhi harga di tingkat pemulung.
Dengan melihat berbagai hal di atas, maka sangat penting bagi legislatif (DPR/DPRD) beserta eksekutif (Pemerintah) untuk membuka ruang bagi partisipasi publik dalam pembangunan khususnya dalam pengelolaan sampah ini, termasuk dalam hal penggunaan teknologi pengolahan sampah ramah lingkungan, tidak perlu mendatangkan teknologi asing (impor SDM,dll) dalam pengelolaan sampah ini, Teknologi anak bangsa sudah cukup mumpuni dan seirama dengan budaya Indonesia sendiri. Hal penting lainnya adalah Pemerintah dan DPR/DPRD harus lebih membuka diri, kembali membuka hasil-hasil kajian dan aplikasi yang telah dilakukan oleh para professional/pengusaha sampah lokal dan peneliti di Indonesia dalam membuat keputusan, karena senyatanya telah banyak hasil-hasil aplikasi riel dan kajian yang tentu akan sangat bermanfaat bagi pembangunan infrastruktur di Indonesia, termasuk di dalam hal pengelolaan sampah kota.
Pastinya buat pemerintah Kab/Kota di Indonesia, berhati-hatilah dalam memilih metode dan konsep pengelolaan sampah, sampah adalah identik bau busuk (dan memang bau ya…) kalau hati juga busuk alias bau korupsi maka hasilnya akan mencelakakan diri. Maka hati-hati melaksanakan perintah hatinya yang tidak pernah dusta itu.

Baca KompasNews: Klik di SINI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Kunjungan dan Partisipasinya di Lekad News....Sukses untuk Anda